BanyuwangiNews.com - Dinamika penolakan kenaikan pajak yang muncul di berbagai daerah, seperti bentrokan warga di Kabupaten Pati baru-baru ini, menunjukkan bahwa urusan pajak bukan sekadar angka di atas kertas. Ia menyentuh relasi langsung antara pemerintah dan rakyat.
Dalam kasus Pati, keputusan politik untuk menaikkan pajak dipandang sebagian warga sebagai beban tambahan yang tidak sebanding dengan manfaat yang mereka rasakan. Fenomena ini menjadi tren di sejumlah kabupaten lain yang mengubah tarif pajaknya melalui kebijakan daerah.
Dalam perspektif pembangunan, pajak bukan hanya “pungutan” yang diatur undang-undang. Besley dan Persson (2013) dalam Taxation and Development menjelaskan bahwa kekuatan suatu negara untuk memungut pajak mencerminkan kapasitas fiskal (fiscal capacity), yaitu kemampuan negara untuk mengelola, menegakkan, dan memanfaatkan sumber daya demi kepentingan publik.
melalui reformasi pajak, investasi pada administrasi, dan penguatan kelembagaan. Konsep tentang kesepakatan tidak tertulis bahwa rakyat mau membayar pajak jika pemerintah memberikan manfaat nyata dan transparan. Taxation and Development menegaskan, kepatuhan pajak erat kaitannya dengan persepsi masyarakat terhadap kualitas belanja pemerintah.
Jika pajak kembali dalam bentuk jalan yang mulus, layanan kesehatan yang memadai, pendidikan terjangkau, dan rasa aman, resistensi akan berkurang. Namun, jika pelayanan publik buruk atau tidak transparan, kenaikan pajak akan mudah memicu kemarahan.
BACA BERITA :
Kasus di Banyuwangi menjadi salah satu potret serupa. Surat Bupati Banyuwangi Nomor 973/693/429.204/2024 yang merespons rekomendasi Kementerian Dalam Negeri terkait Rancangan Peraturan Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) tahun 2025 memuat salah satu kebijakan strategis berupa penyesuaian tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2).
Dasar penyesuaian ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif PBB P2 hingga batas maksimal 0,5% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Banyuwangi merencanakan perubahan tarif dari 0,1% menjadi 0,3%, yang berarti tarifnya menjadi tiga kali lipat dari tarif sebelumnya.
Kenaikan dari 0,1% menjadi 0,3% ini secara matematis setara dengan kenaikan 200% terhadap tarif awal.
Perhitungannya sederhana, yakni selisih tarif baru dengan tarif lama dibagi tarif lama, lalu dikalikan 100%. Dengan demikian, jika NJOP suatu objek pajak tetap, beban pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak akan meningkat tiga kali lipat. Kenaikan sebesar ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengurangi ketergantungan pada transfer pusat, serta membiayai kebutuhan pembangunan daerah yang terus meningkat.
Secara fiskal, kebijakan ini berpotensi memberikan tambahan penerimaan yang signifikan. PBB P2 adalah jenis pajak properti yang relatif stabil dan berkelanjutan, sehingga kenaikan tarif akan memperkuat kapasitas fiskal daerah dalam jangka panjang. Dana tambahan ini dapat dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan publik, dan program-program prioritas lainnya. Namun, di sisi lain, risiko sosialnya cukup nyata.
Kenaikan tarif yang tajam, apalagi jika diiringi peningkatan NJOP, dapat memicu resistensi publik, khususnya di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, jika penilaian NJOP tidak dilakukan secara adil, kebijakan ini dapat menimbulkan persepsi ketidakadilan dan bahkan meningkatkan angka tunggakan pajak.
Pasca pembahasan dan penetapan revisi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang di dalamnya memuat ketentuan baru tarif PBB-P2 sebesar 0,3%. dinamika di lapangan justru memanas. Meskipun dalam rapat paripurna DPRD laporan Gabungan Komisi 2 dan 3 menyatakan bahwa pembahasan dilakukan secara intensif, cermat, dan mengedepankan musyawarah mufakat, reaksi masyarakat menunjukkan gelombang penolakan yang signifikan.
Di berbagai ruang publik, muncul pertanyaan mendasar terkait kinerja Panitia Khusus (Pansus) DPRD yang membahas revisi perda ini. Sejumlah warga mempertanyakan apakah proses legislasi tersebut benar-benar mencerminkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Gejolak semakin terasa ketika sebagian anggota legislatif terkesan “angkat tangan” atau tidak memberikan penjelasan memadai kepada konstituen, bahkan ada yang seolah-olah mencuci tangan atas hasil keputusan.
Fenomena ini semakin kompleks karena dari pihak eksekutif, termasuk beberapa pejabat setingkat sekretaris daerah, terdapat narasi yang cenderung mengaburkan fakta. Beberapa di antaranya menyatakan bahwa kenaikan tarif pajak ini “belum benar-benar disahkan” atau bahkan “tidak pernah ada kenaikan”, meskipun dokumen resmi DPRD jelas mencantumkan perubahan pasal tarif PBB-P2 dari sebelumnya 0,1% menjadi 0,3%.
Pernyataan Pj Sekda Banyuwangi, Guntur Priambodo yang dimuat dalam Times Indonesia (8 Agustus 2025), menunjukkan adanya perbedaan sudut pandang antara pembacaan dokumen resmi revisi Perda dan narasi yang disampaikan eksekutif kepada publik. Ia menegaskan bahwa isu kenaikan tarif PBB-P2 sebesar 200 persen tidak benar, dengan alasan Bupati Banyuwangi tidak pernah memiliki proyeksi peningkatan PAD yang bersumber dari kenaikan tarif pajak tersebut.
Menurut Guntur, penerapan single tarif 0,3 persen dalam revisi Perda hanya merupakan penyesuaian terhadap evaluasi Kemendagri yang meminta perubahan skema dari multi tarif menjadi single tarif. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kepala daerah tetap memiliki kewenangan menentukan tarif dalam Peraturan Bupati, yang dapat mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat, sehingga secara implisit mengisyaratkan bahwa tarif efektif bisa berbeda dari yang tercantum di Perda.
Namun, jika dibandingkan dengan isi Pasal 9 Perda Kabupaten Banyuwangi Nomor 1 Tahun 2024, perbedaan mencolok terlihat jelas. Sebelumnya, tarif PBB-P2 dibedakan berdasarkan NJOP: 0,1 persen untuk NJOP hingga Rp1 miliar, 0,2 persen untuk NJOP di atas Rp1 miliar hingga Rp5 miliar, dan 0,3 persen untuk NJOP di atas Rp5 miliar.
Perubahan ke single tarif 0,3 persen pada revisi Perda berarti seluruh objek pajak dikenakan tarif tertinggi, yang secara matematis memang setara dengan kenaikan 200 persen bagi wajib pajak yang sebelumnya membayar 0,1 persen. Meski eksekutif menyatakan bahwa dalam praktiknya Bupati dapat memberi insentif atau pengurangan tarif, secara legal formal perubahan skema tarif ini sudah menaikkan beban pajak potensial.
Pernyataan Guntur menekankan aspek fleksibilitas implementasi, tetapi tidak sepenuhnya menghapus fakta bahwa naskah revisi Perda memuat perubahan struktur tarif yang dapat meningkatkan kewajiban pajak sebagian besar masyarakat.
Ketidakselarasan pernyataan antara dokumen resmi dengan komunikasi publik inilah yang menimbulkan kebingungan dan memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses permusyawaratan di DPRD maupun komitmen eksekutif dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang transparan.
Situasi ini menjadi pelajaran penting bahwa perubahan kebijakan pajak, apalagi yang berdampak langsung pada beban ekonomi masyarakat, membutuhkan keterbukaan informasi, konsistensi sikap, dan komunikasi publik yang jelas dari semua pihak yang terlibat—baik legislatif maupun eksekutif.
Tanpa itu, setiap kebijakan berpotensi kehilangan legitimasi di mata publik meskipun secara prosedural sudah disahkan.