Krisis Pengetahuan dan Tantangan Kelembagaan dalam Program Ketahanan Pangan Desa

BanyuwangiNews.com - Salah satu tantangan mendasar pembangunan desa hari ini adalah lemahnya kapasitas pengetahuan, keterampilan, dan informasi di kalangan pengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan BUMDes Bersama (BUMDesma). Situasi ini tampak paling nyata pada implementasi program ketahanan pangan yang menggunakan Dana Desa—sebuah kebijakan desentralisasi fiskal yang dirancang untuk memperkuat ekonomi lokal sekaligus menjamin keberlanjutan pangan masyarakat.

Secara normatif, program ini memiliki semangat mulia yaitu menjadikan desa sebagai pusat produksi, distribusi, dan penguatan ketahanan pangan nasional. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak BUMDes dan BUMDesma gagal mengubah modal desa menjadi kekuatan produktif. Para pengelola gagap membaca regulasi, tidak mampu menafsirkan arah kebijakan yang kompleks, serta belum siap mengelola usaha dengan misi ganda—komersial dan sosial—sebagaimana diamanatkan dalam Permendesa 5 tahun 2025 dan PP No. 11 Tahun 2021 tentang BUMDesa dan BUMDes Bersama.

Lemahnya kemampuan membaca regulasi membuat pengelolaan modal desa berjalan setengah hati. Ketakutan terhadap kesalahan administratif dan potensi temuan audit seringkali membuat pengelola lebih sibuk “mengamankan laporan” ketimbang membangun inovasi usaha. BUMDes yang seharusnya menjadi lembaga ekonomi sosial justru terjebak dalam pola birokratis, bukan kewirausahaan. Ketika Dana Desa untuk ketahanan pangan hanya berhenti di pembelian alat atau modal proyek, tanpa ekosistem usaha yang tumbuh, maka program ini kehilangan ruh pemberdayaannya.

Lebih jauh, kegagalan membangun sinergi dengan pelaku usaha lokal memperparah situasi. Banyak BUMDes tidak memiliki kemampuan menjalin kemitraan bisnis yang setara, baik dengan petani, kelompok nelayan, koperasi, maupun pelaku UMKM. Prinsip dasar kerja sama usaha—seperti pembagian risiko, transparansi, dan kepercayaan—belum tumbuh kuat. Akibatnya, program ketahanan pangan berbasis Dana Desa sering hanya bersifat simbolik. Di banyak desa, usaha pertanian, perikanan, dan peternakan tidak berkelanjutan karena tidak ada struktur kelembagaan yang mampu menghubungkan hulu-hilir rantai ekonomi.

Dalam perspektif kelembagaan, situasi ini mencerminkan kegagalan membangun “blended institution”—yakni lembaga hibrid yang menggabungkan logika pemerintahan dan komunitas usaha. Teori kelembagaan Elinor Ostrom (1990) menegaskan bahwa keberhasilan pengelolaan sumber daya bersama (common-pool resources) bergantung pada kemampuan komunitas untuk menciptakan aturan dan norma yang kontekstual. Namun di banyak desa, aturan BUMDes disusun top-down, tanpa dialog dengan realitas sosial dan ekonomi lokal. Akibatnya, kelembagaan ekonomi desa menjadi kering dari partisipasi dan kehilangan makna kolektifnya.

Selain itu, sebagaimana dikemukakan Friedrich Hayek, masalah utama dalam sistem ekonomi bukan hanya keterbatasan sumber daya, melainkan keterbatasan pengetahuan. Knowledge problem atau masalah pengetahuan yang tersebar (dispersed knowledge) menegaskan bahwa informasi tentang kebutuhan dan potensi lokal tidak mungkin dimonopoli oleh negara. Dalam konteks BUMDes, ini berarti bahwa pengelolaan program ketahanan pangan harus membuka ruang belajar bersama—antara pemerintah desa, pengelola BUMDes, dan masyarakat pelaku ekonomi—agar pengetahuan teknis dan pengetahuan lokal dapat saling melengkapi.

Namun sayangnya, institusi pengetahuan dan informasi di tingkat desa belum terbentuk. Tidak ada sistem pendampingan yang berkelanjutan, tidak ada forum belajar lintas desa, dan tidak ada mekanisme evaluasi yang berbasis pengalaman nyata. Ketika pengetahuan tidak mengalir, keputusan ekonomi menjadi kering dari data dan refleksi. BUMDes tidak mampu membaca pasar, gagal mengidentifikasi peluang, dan akhirnya sekadar menjalankan program tanpa strategi usaha yang jelas.

Kondisi ini juga memperlihatkan lemahnya fungsi institusi permusyawaratan desa sebagai ruang deliberatif. Musyawarah desa lebih sering berperan sebagai forum formalitas penetapan anggaran ketahanan pangan, bukan ruang perencanaan strategis yang melibatkan pelaku ekonomi lokal. Padahal, permusyawaratan adalah fondasi institusional yang seharusnya menjamin kolaborasi antara pemerintah desa, masyarakat, dan pelaku usaha. Ketika ruang deliberasi ini tidak hidup, maka potensi gotong-royong dan inovasi sosial ikut mati.

Kegagalan ini membawa dampak serius: usaha pertanian dan perikanan yang didukung modal Dana Desa sering berhenti setelah satu siklus produksi. Tidak ada rantai pasok, tidak ada lembaga pemasaran, tidak ada sistem insentif bagi pelaku lokal. Alih-alih memperkuat ketahanan pangan, banyak desa justru kehilangan orientasi ekonomi.

Dalam kerangka transformasi paradigma pembangunan, kita perlu meninggalkan model top-down yang hanya berorientasi pada belanja dan laporan, menuju paradigma baru yang menempatkan desa sebagai learning community—komunitas yang belajar, bereksperimen, dan berinovasi. BUMDes tidak boleh diperlakukan sebagai entitas administratif, tetapi sebagai institusi pengetahuan dan informasi yang menghubungkan pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.

Dengan menghidupkan blended institution, desa bisa menata ulang pembangunan ekonominya, memadukan modal sosial gotong royong dengan modal fiskal Dana Desa, mempertemukan logika pasar dengan nilai kebersamaan, serta menumbuhkan ketahanan pangan berbasis kemandirian pengetahuan.

Related Post

Tinggalkan Komentar

banyuwanginews.com

Merupakan Media Online yang berada di Banyuwangi dengan mengutamakan informasi yang cerdas, Akurat dan berimbang