Inovasi Akuntabilitas DPRD

Dr Emi Hidayati

Dr. Emi Hidayati M.Si – Dosen Fak. Dakwah UNIIB

Raperda Inovasi Daerah yang saat ini sedang dibahas oleh DPRD, ada satu pasal yang cukup inklusif yaitu pasal 9,dengan menyebut bahwa inisiatif inovasi daerah dapat berasal dari Bupati, anggota DPRD, ASN, perangkat daerah, pemerintah desa dan BUMDes, BUMD, hingga masyarakat. Ada harapan baru bahwa anggota DPRD juga berhak mengajukan inisiatif inovasi. Ketentuan ini tampak sederhana dan lumrah, namun sebenarnya memuat tantangan besar: sejauh mana anggota DPRD benar-benar berani menafsirkan ulang makna inovasi? Inovasi tidak sekadar proyek atau aplikasi digital yang baru. Inovasi yang sejati adalah keberanian menghadirkan sikap baru, komitmen baru, dan orientasi baru dalam menjalankan mandat politik. Maka pertanyaannya, bersediakah - beranikah DPRD melampaui kebiasaan lama dan tampil dengan wajah baru akuntabilitas publik?

Stilgoe (2011) mengingatkan bahwa tata kelola inovasi yang bertanggung jawab bukan berpusat pada produk, melainkan pada niat. Democratic governance of intent menuntut refleksi kritis atas tujuan: untuk siapa inovasi dibuat, dan nilai apa yang hendak diciptakan? Jika DPRD menafsirkan inovasi hanya sebatas kebijakan baru atau program proyek, maka itu tidak berbeda dari rutinitas politik biasa. Tetapi jika DPRD berani menjadikan inovasi sebagai ruang memperbarui sikap politik, khususnya dalam hal transparansi fiskal, maka nilai yang lahir bisa jauh lebih mendasar.

Masalah besar kita hari ini adalah lemahnya keterbukaan atas sisi penerimaan daerah. DPRD, yang memiliki fungsi anggaran, sering kali hanya fokus pada belanja: apa saja program yang akan didanai. Padahal fungsi budgeting bukan hanya soal membagi kue, melainkan juga soal siapa yang membuat kue, bahan apa yang tersedia, dan siapa yang mendapat manfaat. Sayangnya, informasi tentang pendapatan daerah, keuntungan BUMD, atau potensi aset publik, nyaris tidak pernah diungkapkan secara jujur kepada rakyat. Inilah asimetri informasi yang menggerogoti legitimasi DPRD.

Mair dkk. (2015) mengkritik model inovasi yang berbasis kepatuhan semata, karena itu membuat kebijakan publik kehilangan daya cipta sosial. Sama halnya dengan DPRD, jika fungsi anggaran hanya dijalankan secara prosedural, rakyat tidak akan pernah tercerahkan. Forum reses pun cenderung berubah menjadi ajang distribusi proposal proyek, bukan arena deliberasi politik. Padahal, responsible innovation (Owen et al., 2013; von Schomberg, 2013) menuntut agar inovasi menjawab grand challenges masyarakat, seperti keterbukaan informasi fiskal dan partisipasi warga.

Di titik inilah DPRD perlu menghadirkan keberanian baru: innovation of behavior. Keberanian untuk membuka tabir yang selama ini ditutup rapat—berapa biaya perjalanan dinas yang dihabiskan untuk membahas satu raperda, berapa laba BUMD yang seharusnya masuk kas daerah, atau aset mana yang sebetulnya bisa menopang pendapatan asli daerah. Transparansi semacam ini bukan sekadar teknis administratif, melainkan inovasi politik substantif.

Scherer & Voegtlin (2020) menekankan perlunya tata kelola partisipatif yang deliberatif. Artinya, inovasi harus dipandu sejak awal oleh pertanyaan normatif: siapa yang berhak menerima nilai? siapa yang selama ini tereksklusi? Bagi DPRD, pertanyaan ini berarti: apakah rakyat sudah benar-benar mendapat pendidikan politik dari forum-forum resmi? Ataukah mereka hanya menjadi penonton yang diberi sekadar “penghilang rasa nyeri” berupa janji proyek? Jika DPRD gagal menjadikan reses sebagai ruang deliberasi, maka inovasi hanya akan berhenti sebagai jargon.

Inovasi dalam konteks DPRD berarti keberanian moral-etis. Keberanian untuk melawan godaan domestifikasi fungsi anggaran, keberanian untuk memutus budaya politik transaksional, dan keberanian untuk jujur membuka data yang selama ini gelap. Kebaruan sikap inilah yang akan menentukan apakah Raperda Inovasi benar-benar melahirkan nilai publik, atau sekadar menambah daftar regulasi tanpa makna.

Pada akhirnya, inovasi bukanlah sekadar soal teknologi atau program baru. Bagi DPRD, inovasi adalah ujian keberanian politik: apakah mereka siap menjadikan dirinya motor perubahan pola pikir kelembagaan? Apakah mereka siap memutus rantai ketertutupan fiskal dan menggantinya dengan keterbukaan? Jika ya, maka DPRD sedang membangun responsible innovation—inovasi yang tidak hanya berguna, tetapi juga bermakna bagi rakyat. Tetapi jika tidak, maka “hak mengusulkan inovasi” hanya akan menjadi formalitas tanpa ruh, dan rakyat kembali terjebak dalam lingkaran lama ketidaktransparanan.

Related Post

Tinggalkan Komentar

banyuwanginews.com

Merupakan Media Online yang berada di Banyuwangi dengan mengutamakan informasi yang cerdas, Akurat dan berimbang