BanyuwangiNews.com - Mengomentari tulisan Dr. Emi Hidayati sebelumnya, “Koperasi Merah Putih dan Kerentanan Kelembagaan”, telah membuka ruang diskusi kritis tentang bagaimana kebijakan negara sering kali gagal menyesuaikan diri dengan realitas kelembagaan lokal. Kritik ini penting, terutama sebagai peringatan terhadap jebakan formalisme kelembagaan dalam praktik pembangunan desa.
Namun tulisan ini hendak mengambil sudut pandang yang berbeda, yakni melihat potensi afirmatif dari kehadiran koperasi tersebut. Alih-alih semata menjadi representasi kendali pusat, Koperasi Merah Putih dapat pula dibaca sebagai simbol wajah baru politik ekonomi desa—sebuah peluang untuk merekonstruksi relasi ekonomi komunitas yang lebih partisipatif, adil, dan berakar dalam nilai lokal. Bila dirancang dan dijalankan secara reflektif, koperasi ini justru dapat menjadi jembatan antara ekonomi modern dengan nilai-nilai solidaritas sosial yang telah lama hidup di desa.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memulai langkah besar dalam bidang ekonomi kerakyatan dengan menggagas pendirian koperasi ini sebagai salah satu pilar utama pengentasan kemiskinan dan penguatan ekonomi desa. Di tengah berbagai dinamika pasca-Inpres No. 8 Tahun 2025, koperasi ini muncul bukan sekadar sebagai entitas ekonomi, melainkan sebagai simbol transformasi sosial dan penataan ulang relasi kekuasaan ekonomi di akar rumput.
Inilah wajah baru politik ekonomi desa yang patut dibaca sebagai ruang pergeseran dari ekonomi administratif menuju ekonomi yang lebih tertanam dalam realitas sosial komunitas. Koperasi Merah Putih dapat dipahami sebagai upaya menghadirkan arsitektur ekonomi baru di desa, yang tidak sepenuhnya tunduk pada logika pasar kapitalistik, namun juga tidak tergantung sepenuhnya pada bantuan negara.
Dalam kerangka ekonomi solidaritas, koperasi bukan sekadar unit bisnis, tetapi merupakan bentuk organisasi sosial-ekonomi yang berorientasi pada keberlanjutan komunitas, keadilan distribusi, dan partisipasi anggota. Ia adalah ekspresi gotong royong dalam bentuk ekonomi modern. Jika dikelola secara inklusif dan partisipatif, koperasi ini dapat membuka ruang baru bagi masyarakat desa untuk mengembangkan sumber dayanya secara kolektif, tanpa kehilangan nilai-nilai lokal seperti musyawarah, kebersamaan, dan tanggung jawab sosial.
Kegiatan ekonomi masyarakat desa tidak pernah steril dari struktur sosial dan nilai budaya. Konsep embeddedness yang diperkenalkan oleh Mark Granovetter menegaskan bahwa ekonomi selalu tertanam dalam jaringan sosial. Di desa, di mana relasi kekerabatan dan kepercayaan menjadi modal utama, koperasi akan memiliki daya hidup lebih tinggi jika dibentuk dari akar sosial yang kuat.
Maka koperasi Merah Putih akan menemukan pijakan legitimasi sosialnya jika ia tidak datang sebagai paket kebijakan yang dipaksakan, tetapi lahir dari proses musyawarah warga, tokoh masyarakat, pemuda, dan perempuan desa sebagai bagian dari ekosistem sosial yang ada.
Lebih jauh, pendekatan ekonomi komunitas menempatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama pembangunan ekonomi. Dalam perspektif ini, desa bukan sekadar penerima program, tetapi perancang sistem ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilainya sendiri.
Koperasi Merah Putih dapat menjadi alat untuk menegaskan desa sebagai produsen nilai, bukan sekadar konsumen pembangunan. Ia menjadi medium belajar kolektif, tempat warga menyusun rencana usaha, mengelola aset bersama, dan memperkuat jaringan antar komunitas desa secara horizontal.
Moral Ekonomi dan Keadilan Sosial Lebih penting dari itu semua adalah bagaimana koperasi dapat menjadi penjaga nilai-nilai ekonomi moral yang hidup dalam masyarakat. Mengutip James C. Scott, masyarakat desa sering kali menjalankan logika ekonomi yang berbeda dari kapitalisme: lebih berorientasi pada keberlangsungan hidup bersama, redistribusi risiko, dan perlindungan terhadap warga yang paling rentan.
Dalam konteks ini, koperasi bukan sekadar entitas usaha, melainkan wadah menjaga keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial. Koperasi Merah Putih harus menjadi ruang di mana perempuan, petani kecil, buruh tani, dan pelaku ekonomi informal dapat berpartisipasi aktif, bukan hanya menjadi objek pengambilan keputusan.
Ketika prinsip keadilan sosial menjadi dasar pengelolaan, maka koperasi tidak hanya menggerakkan ekonomi desa, tetapi juga memulihkan martabat sosial warga yang selama ini terpinggirkan dalam proses pembangunan.
Dengan cara pandang semacam ini, Koperasi Merah Putih sesungguhnya mencerminkan wajah baru politik ekonomi desa: wajah yang menggabungkan keberdayaan ekonomi dengan kepekaan sosial, serta membuka ruang bagi demokratisasi ekonomi dari bawah.
Tentu semua ini tidak akan berjalan otomatis. Dibutuhkan proses pendampingan, penguatan kapasitas, dan kerangka regulasi yang tidak mematikan inisiatif lokal. Negara harus hadir sebagai fasilitator, bukan pemilik mutlak. Jika ini dilakukan, maka koperasi ini tidak sekadar menjadi alat program pemerintah, tetapi menjadi medium perubahan struktur ekonomi nasional yang tumbuh dari akar desa.